Jabarplus.id – Revisi undang-undang pemilu dan Pilkada yang masuk pada program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas 2025 pada Rapat badan legislasi (baleg) DPR RI menjadi pembahasan hangat oleh pengamat hingga politisi.
Pengamat politik dari Visi Nusantara, Yusfitriadi menilai banyak yang harus dikritisi pada revisi undang-undang pemilu itu diantaranya efektifitas penyelenggara pemilu baik KPU maupun Bawaslu.
“Dimana pekerja pemilu efektifitas hanya bekerja 2 tahun dan akhirnya kemudian anggaran yang besar yang digelontorkan oleh negara untuk penyelenggara pemilu minimal pemilu kemarin 120 triliun misalnya itu tersedot semua 75% untuk penyelenggara pemilu,” jelas dia, Minggu 24 November 2024.
“Nah saya pikir ini tinggal kemudian pilihannya apakah kemudian serentak akan dikembalikan tidak serentak atau kemudian penyelenggara pemilu akan diformulasikan seperti apa,” lanjutnya.
Selain itu, Yusfitriadi menekankan pada politisasi ambang batas pada pelaksanaan pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pilkada yang masih terus berubah-ubah.
“Tidak konsistennya penggunaan ambang batas ketika kita berbicara pemilihan Presiden ambang batas yang digunakan adalah hasil indeks sebelumnya. Ketika kemudian bicara pilkada, kita menggunakan ambang batas pada pemilu tahun yang sama, nah itu saya pikir muncul ketidakonsistenan,” jelas dia.
Yusfitriadi juga mengkritisi soal kekosongan hukum pada pasangan tunggal pada Pilkada. Yusfitriadi menjelaskan, pasangan calon tunggal, secara substansi hukum diakomodir dengan menggunakan kertas suara yang tidak ada pasangan calon lawannya.
“Walaupun istilah pasangan calon tunggal itu tidak ada dalam undang-undang. Namun kemudian kita menggunakan implementasi di kertas suara, tapi variabel lainnya seperti kampanye, tim kampanye, itu tidak diatur dalam undang-undang. Apa dampak nya? Dampak ketika kemudian ini dihadapan pada politisasi pasangan calon tunggal maka kekecewaan pasangan tunggal itu kemudian akan mendorong dibentuknya tim sukses, tim kampanye dan seterusnya maka kemudian itu yang akan berdampak kepada perlawanan terhadap pasangan tunggal,” jelas dia.
“Ditambah kemudian juga pasangan calon tunggal ketika kalah, itu juga belum dijelaskan apakah kemudian pada pemilu yang akan datang itu belum tegas undang-undang nya.
Ia menilai, revisi undang-undang pemilu baik Pilkada maupun Pilpres itu harus benar-benar dilakukan dengan asas kepentingan penegakan demokrasi yang lebih baik.
“Saya pikir itu persepsi-persepsi yang saya pikir dalam konteks penegakan demokrasi itu harus kembali diluruskan melalui undang-undang,” jelas dia.
Sementara, Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Dede Yusuf menjelaskan, salah satu yang menjadi diskusi masif pada revisi undang-undang itu adalah ini skema Pileg terbuka tertutup, semi terbuka, semi tertutup, atau sama sekali terbuka.
“Karena ini bersangkutan juga nanti kemampuan caleg yang mau maju bayangkan kalau misalkan kita menyebutnya tertutup, berarti hanya partai menentukan dan pastinya partai besar akan diunggulkan ketimbang partai kecil. Kalo semi terbuka berarti hanya calon yang menjadi katakanlah struktur di organisasi yang punya peluang. Sementara yang lain tidak merasa peluang dan ga akan kerja. Ini juga pasti punya dilematis,” jelas dia.
Dede Yusuf juga mengomentari soal money politik pada pelaksanaan Pemilu dan Pilkada yang dinilai cukup mengkhawatirkan saat Pemilu kemarin.
“Bayangkan level DPRD Kabupaten Kota saja kalau dulu itu mungkin 500 juta dapet. Sekarang jadi naik bisa 3 Miliar. Bayangkan yang DPR RI. Itu sebabnya kemarin partai-partai berlomba mencari orang orang terkenal untuk menekan tadi, tapi berdampak kepada aktivis – aktivis, kawan kawan yang berjuang kesempatan berjuang untuk tampil semakin berat, bukan berarti yang saat ini jadi tidak memiliki integritas tidak juga. Artinya bedanya yang populer Cash of Money lebih murah,” jelas dia.
Sehingga, sejumlah isu tersebut juga harus dipikirkan pada pelaksanaan revisi undang-undang pemilu dan Pilkada yang akan dibahas oleh Baleg DPR RI.
“Jadi tentu ini menjadi isu yang kita akan bicarakan,” jelas dia.